Surakarta-jejakkasusindonesianews.com, Tragedi kemanusiaan kembali mencoreng wajah penegakan hukum di Indonesia. Seorang bocah laki-laki berusia 5 tahun, Kenji, menjadi korban kekerasan seksual keji berupa pemerkosaan dan sodomi. Ironisnya, alih-alih mendapat keadilan, keluarga korban justru menghadapi dugaan kuat adanya perlindungan terhadap pelaku oleh oknum aparat penegak hukum.(20/6/2025)
Melalui kuasa hukumnya, Aslam Syah Muda, S.H.I., CT. NNLP, dan Agus Dwi Anggoro, S.H., pihak keluarga secara resmi melaporkan dua penyidik Polresta Surakarta, yakni Iptu Wahyu Riyadi, S.H. dan Aipda Budi Santoso, S.H., ke Bidang Propam Polda Jawa Tengah.
Laporan tersebut teregister dengan nomor 001/SLP/PH/VI/2025, yang menyoroti dugaan penghentian perkara secara tidak prosedural, manipulasi proses penyidikan, hingga indikasi kuat penyalahgunaan wewenang oleh aparat yang semestinya melindungi korban.
“Kami Tidak Akan Diam”
Dalam keterangannya kepada media, Aslam Syah Muda menegaskan adanya dugaan kuat praktik pelanggaran etik serta persekongkolan dalam penghentian penyelidikan kasus ini.
“Kami mencium adanya pembiaran sistematis, bahkan indikasi persekongkolan yang melibatkan aparat dalam proses penghentian perkara kekerasan seksual terhadap anak. Negara seharusnya membela korban, bukan menjadi tameng bagi pelaku melalui kekuasaan,” tegas Aslam.
Dokumen penghentian penyelidikan bernomor SP.Lidik/832/E/V/2018/Reskrim dinilai sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap prinsip perlindungan anak yang dijamin undang-undang.
Pelanggaran Hukum yang Menganga
Tim kuasa hukum menilai penghentian perkara ini bertentangan secara langsung dengan sejumlah regulasi:
Pasal 76D dan Pasal 81 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menegaskan bahwa setiap bentuk kekerasan seksual terhadap anak diancam pidana maksimal 15 tahun penjara dan denda hingga Rp5 miliar;
Pasal 421 KUHP, yang mengatur sanksi pidana bagi pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan atau wewenangnya dalam proses hukum, dengan ancaman pidana penjara hingga 2 tahun 8 bulan.
Luka Kolektif Nurani Publik
Kasus ini tidak hanya menyangkut pelanggaran pidana, melainkan juga menciptakan luka kolektif bagi nurani bangsa. Di usia belia, Kenji bukan hanya mengalami trauma psikologis mendalam, tetapi juga dipaksa menanggung beban sistem hukum yang diduga berupaya membungkam kebenaran demi melindungi kepentingan segelintir oknum.
Desakan Publik: Bentuk Tim Investigasi Independen
Aktivis perlindungan anak, pemerhati hukum, hingga masyarakat sipil mendesak Kapolda Jawa Tengah, Kapolri, hingga Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk segera membentuk tim investigasi independen. Tujuannya jelas: mengusut tuntas dugaan skandal hukum ini, mencopot aparat yang terbukti melanggar, serta memastikan hak-hak hukum dan pemulihan psikologis korban serta keluarganya terpenuhi.
“Kasus ini bukan hanya tentang satu anak. Ini adalah potret menyakitkan dari sistem hukum yang bisa dibajak oleh oknum. Jika negara masih berdiri di sisi keadilan, inilah saatnya untuk membuktikan,” pungkas Agus Dwi Anggoro.
(Redaksi/Angger S)