JAKARTA ||Jejakkasusindonsianews.com– Dunia pers Indonesia kembali diguncang oleh tindakan tidak etis yang justru berasal dari pelaku industri media itu sendiri. Warsito, yang mengaku sebagai Direktur Utama PT Berita Istana Negara, diduga menyebarkan opini menyesatkan yang mengancam kemerdekaan pers. Ia menyebut tiga media independen : mitraadhyaksa.com, sergap86.id, dan cyberpolri.id, sebagai “media bodong”, hanya karena belum mendaftarkan logo ke HAKI dan berbadan hukum PT Perorangan.
Padahal, pernyataan tersebut menunjukkan pemahaman hukum yang keliru dan berpotensi menjadi bentuk pembunuhan karakter terhadap media sah yang aktif menjalankan fungsi jurnalistik.
Media Bukan Produk Dagang – Warsito Keliru Fatal
Dalam artikel yang dipublikasikan di situs PT Berita Istana, Warsito menyatakan bahwa media massa wajib mendaftarkan logo dan nama medianya ke HAKI. Padahal, pernyataan ini tidak memiliki dasar hukum.
UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis tidak mewajibkan pendaftaran HAKI sebagai syarat mendirikan atau mengoperasikan media. Pendaftaran tersebut bersifat opsional, semata-mata sebagai bentuk perlindungan kekayaan intelektual jika digunakan secara komersial.
Oleh karena itu, menyebut media sebagai “bodong” karena belum mendaftarkan HAKI adalah tuduhan yang tidak berdasar secara hukum dan menyesatkan opini publik.
PT Perorangan Sah di Mata Hukum , Warsito Salah Kaprah
Klaim bahwa PT Perorangan tidak sah sebagai badan hukum media menunjukkan kekeliruan mendasar. Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan diperkuat oleh PP No. 8 Tahun 2021, PT Perorangan merupakan badan hukum yang sah di Indonesia.
Sementara itu, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 9 ayat (2), hanya mensyaratkan bahwa perusahaan pers harus berbadan hukum Indonesia, tanpa menyebutkan bentuknya harus PT biasa atau PT Perorangan.
Dengan demikian, pernyataan Warsito bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan menciptakan narasi keliru yang merugikan media independen.
Opini Tak Konsisten, Narasi Cacat Yuridis
Ironisnya, Warsito sendiri mengakui bahwa tidak ada kewajiban mendaftar ke Dewan Pers yang secara hukum memang benar. Namun pada saat yang sama, ia memaksakan syarat fiktif berupa kewajiban HAKI dan bentuk PT tertentu, yang tidak diatur dalam UU Pers.
Inkonsistensi ini menggambarkan bahwa Warsito bukan sedang memberi edukasi hukum, melainkan membangun narasi sesat dan menyerang media pesaing dengan standar ganda.
Ada Tendensi Politis, Upaya Monopoli Narasi Kebenaran?
Tulisan Warsito lebih menyerupai serangan pribadi berbalut opini hukum yang menyesatkan. Tuduhan bahwa media independen tersebut “bodong” tanpa dasar yuridis dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik, sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUHP dan UU ITE.
Lebih mengkhawatirkan, pernyataan tersebut berpotensi menciptakan monopoli narasi hukum, di mana definisi legalitas pers dipaksakan secara sepihak dan tidak berdasar.
Seruan Pers Nasional: Lawan Opini Menyesatkan, Tegakkan Kemerdekaan Pers
Media yang dituduh “bodong” mitraadhyaksa.com, sergap86.id, dan cyberpolri.id ,terbukti aktif menjalankan fungsi jurnalistik dengan memuat laporan seputar isu sosial, hukum, dan pelayanan publik.
Menyerang mereka hanya karena tidak sesuai tafsir hukum subjektif adalah bentuk penyesatan publik dan pelecehan terhadap prinsip-prinsip demokrasi.
Kami menyerukan kepada seluruh insan pers, komunitas hukum, dan masyarakat luas untuk bersama-sama melawan narasi hukum yang sesat dan mencederai kemerdekaan pers.
Catatan Hukum:
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 9 ayat (2): Media cukup berbadan hukum Indonesia, tanpa menyebut bentuk tertentu.
PP No. 8 Tahun 2021: PT Perorangan sah sebagai badan hukum.
UU Hak Cipta & UU Merek: Pendaftaran HAKI bersifat opsional, bukan syarat legalitas media.
Pasal 310 KUHP & UU ITE: Tuduhan tanpa dasar hukum yang merugikan reputasi institusi lain dapat dijerat pidana pencemaran nama baik.
[Sugiman / Red]