SURABAYA -Jejakkasusindonesianews.com, ksekusi rumah sengketa di Jalan Dr. Soetomo No. 55, Surabaya oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memicu polemik dan menyisakan luka mendalam bagi keluarga yang menempati rumah tersebut serta para pencari keadilan. Kasus ini juga menimbulkan dugaan kuat adanya keterlibatan mafia tanah dalam proses hukum di balik eksekusi tersebut.
Eksekusi yang berlangsung baru-baru ini sempat dihadang oleh dua organisasi masyarakat: Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB Jaya) Jawa Timur dan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Jawa Timur. Kedua ormas ini menolak keras pelaksanaan eksekusi dengan menggelar aksi damai di lokasi rumah, menyuarakan aspirasi bahwa proses hukum yang melatarbelakangi eksekusi dinilai tidak adil dan sarat kejanggalan.
Rumah tersebut diketahui telah dibeli secara sah oleh mendiang Laksamana Madya Soebroto Judono dari TNI AL pada 28 November 1972, berdasarkan Surat Pelepasan No. K.4000.258/72. Setelah beliau wafat, rumah ditempati oleh putrinya, Tri Kumala Dewi, sebagai ahli waris.
Permasalahan hukum muncul saat seorang bernama Hamzah Tedjakusuma mengklaim kepemilikan rumah tersebut dengan mengacu pada Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Gugatan tersebut sempat dimenangkan oleh Tri Kumala Dewi, termasuk saat proses peninjauan kembali (PK), namun sengketa terus bergulir hingga ke tahap eksekusi.
Nama Rudianto dan istri dari almarhum Dokter Tedjasukmana sempat mencuat karena diduga melakukan pemalsuan akta Ikatan Jual Beli atas tanah negara. Rudianto bahkan sempat ditetapkan sebagai DPO sejak 2013 sebelum akhirnya meninggal dunia secara misterius pada tahun 2021, yang memicu berbagai spekulasi publik tentang kemungkinan kolusi dalam proses hukum tersebut.
Ketidakhati-hatian juga terjadi di pihak notaris. Dalam surat tertanggal 9 Januari 2023 kepada Majelis Pengawas Notaris Jawa Timur, Notaris Ninik Sutjiati mengakui telah melakukan kekeliruan dalam pembuatan akta jual beli karena tidak mengetahui bahwa objek tanah tersebut masih dalam sengketa hukum.
Pembina GRIB Jatim, David, menyebut bahwa keluarga Tri Kumala Dewi menjadi korban ketidakadilan hukum. Ia mendesak agar sistem peradilan dan kewenangan notaris segera dievaluasi untuk mencegah terulangnya kasus serupa.
Lebih lanjut, Ketua MAKI Jatim, Heru Satrio, menegaskan komitmennya untuk terus mengawal kasus ini. Menurutnya, eksekusi tersebut tidak mencerminkan prinsip keadilan, dan diduga kuat melibatkan jaringan mafia tanah.
“Kami mencium adanya praktik mafia tanah dan rekayasa hukum. Ini bukan hanya perampasan rumah, tetapi bentuk nyata ketidakberdayaan masyarakat kecil menghadapi kekuatan modal dan jaringan korup,” ujarnya.
Heru juga menyebut bahwa saat ini masih ada proses hukum yang berjalan di Bareskrim Polri terkait kasus tersebut, dengan terlapor atas nama Handoko Wibisono sebagai penggugat serta Ninik Sujiati sebagai notaris.
Peristiwa ini menjadi potret nyata lemahnya perlindungan hukum bagi masyarakat serta adanya potensi persekongkolan antara pihak-pihak tertentu dengan kekuasaan hukum. Masyarakat pun bertanya, siapa yang akan bertanggung jawab jika terbukti ada rekayasa dalam proses eksekusi ini?
Dugaan pun mengarah pada keterlibatan oknum di lembaga peradilan serta aktor-aktor di balik layar yang mungkin telah merancang skenario untuk menguasai aset yang disengketakan.(Galih)