Laporan : Witriyani
Salatiga||Jejakkasusindonesianews.com – Di tengah kondisi lembaga pemasyarakatan (lapas) yang penuh sesak dan sistem hukum yang kerap gagal memilah antara pelanggaran dan kerentanan, Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah tak biasa: memberikan amnesti kepada 1.116 narapidana. Sebuah keputusan berani yang tak sekadar legal, tetapi juga sarat muatan etika dan keberpihakan terhadap keadilan substansial.
Para penerima amnesti bukanlah pelaku kekerasan. Mereka umumnya adalah pengguna narkoba yang seharusnya direhabilitasi, warga binaan dengan gangguan kejiwaan, korban pasal karet UU ITE, serta mereka yang dihukum hanya karena menyuarakan aspirasi melalui spanduk atau satire politik. Dalam konteks ini, amnesti bukan bentuk ampunan pribadi layaknya grasi, tapi kritik terhadap cara hukum kita bekerja—lebih tepatnya, terhadap cara hukum kita sering kali gagal mengenali sisi manusia dari sebuah pelanggaran.
Overcrowding: Gejala dari Penyakit Lama Bernama Overkriminalisasi
Lapas kita ibarat bom waktu. Dengan kapasitas tampung 146.260 orang, saat ini dihuni lebih dari 281.000 warga binaan. Rasio petugas dan narapidana bahkan bisa mencapai 1:80. Lebih dari setengah penghuni adalah pelanggar kasus narkotika, mayoritas bukan pelaku kekerasan. Mereka yang seharusnya ditangani melalui rehabilitasi justru dikurung bersama pelaku kriminal berat.
Ini bukan sekadar masalah jumlah. Ini cermin dari orientasi penghukuman kita yang masih kolot: melihat penjara sebagai jawaban tunggal terhadap semua bentuk deviasi sosial. Maka, bukan hanya lapas yang kewalahan, keadilan pun kehilangan arah.
Amnesti: Jalan Etis yang Konstitusional
Amnesti adalah hak konstitusional Presiden berdasarkan Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945, dengan pertimbangan DPR. Tapi lebih dari itu, ia adalah ekspresi negara untuk berhenti sejenak dan bertanya: apakah keadilan masih hidup dalam sistem hukum kita?
Filsuf Giorgio Agamben menyebut amnesti sebagai keputusan kedaulatan yang digunakan dalam situasi luar biasa. Begitu pula John Rawls dan Amartya Sen yang menekankan bahwa keadilan bukan semata-mata soal aturan, tapi tentang fairness dan mengurangi ketidakadilan.
Keputusan amnesti Presiden Prabowo adalah bentuk keberanian moral untuk menyelamatkan bukan hanya mereka yang dihukum, tapi juga wajah hukum itu sendiri.
Reformasi Pemasyarakatan: Dari Hukuman ke Pemulihan
Ke depan, amnesti ini tidak boleh berhenti sebagai solusi instan. Ia harus menjadi pintu masuk menuju reformasi hukum yang lebih manusiawi. KUHP baru yang akan mulai berlaku pada Januari 2026 adalah harapan besar, karena memberi ruang bagi pendekatan restoratif, pidana alternatif, dan prinsip ultimum remedium untuk perkara ringan.
Reformasi pemasyarakatan juga menuntut peran aktif petugas Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang kini menjadi aktor penting dalam proses pra, selama, dan pasca pemidanaan. Mereka bukan sekadar pengawas, melainkan agen perubahan dari paradigma balas dendam ke reintegrasi sosial.
Mengembalikan Martabat Hukum
Penjara yang penuh bukan tanda ketegasan, melainkan sinyal darurat bahwa kita sedang gagal membedakan antara kejahatan dan kemiskinan, antara kritik dan ancaman. Hukum yang sehat adalah hukum yang mampu menyaring, bukan menghukum secara membabi buta.
Dalam semangat itulah amnesti harus dilihat: sebagai sinyal bahwa negara ingin memperbaiki bukan hanya siapa yang dihukum, tetapi mengapa seseorang dihukum. Dan lebih jauh lagi, bagaimana hukum bisa menjadi sarana pemulihan sosial, bukan alat balas dendam kolektif.
Karena keadilan sejati bukanlah tentang membuat orang menderita, tetapi tentang bagaimana sebuah bangsa pulihsecara sosial, moral, dan institusional(..)