Klaten | jejakkasusindonesianews.com – Di tengah riuh persoalan tanah Pasar Purwo Rahardjo di Desa Teloyo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten, ada kisah perjuangan panjang seorang perempuan sederhana: Sri Mulasih, putri bungsu dari sembilan bersaudara almarhum Slamet Siswosuharjo.
Sejak tahun 2011, Sri Mulasih memikul tanggung jawab berat mempertahankan tanah peninggalan orang tuanya. Tanah tersebut sah secara hukum, bersertifikat atas nama ayahnya, bahkan pajaknya rutin ia bayarkan hingga saat ini. Namun, bukannya mendapat perlindungan hukum, ia justru harus berhadapan dengan tembok kekuasaan: mulai dari pemerintah desa, pejabat daerah, hingga aparat yang seolah menutup mata.
“Bagi orang lain mungkin lebih mudah menyerah. Tapi bagi saya ini bukan sekadar soal tanah. Ini soal kehormatan keluarga, amanah bapak saya, dan kebenaran yang tidak boleh dikalahkan kebohongan,” ungkap Sri Mulasih kepada awak media, Kamis (28/8/2025).
Simbol Perlawanan Warga Kecil
Selama lebih dari delapan tahun, perjuangan hukum terus ia tempuh. Setiap sidang ia hadiri, setiap bukti ia hadirkan, setiap saksi ia datangkan. Meski melelahkan, Sri Mulasih tetap bertahan. Ia yakin di atas semua ini ada Yang Maha Adil yang kelak akan menyingkap tabir kebenaran.
Kini, perjuangan Sri Mulasih tidak lagi sekadar milik dirinya. Ia menjadi simbol perlawanan masyarakat kecil terhadap dugaan praktik kedzaliman yang dilakukan secara berjamaah oleh mereka yang memiliki jabatan, uang, dan kekuasaan.
Suara Sri Mulasih menggugah nurani publik dan mengetuk hati para penegak hukum, agar negeri ini benar-benar berdiri sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan.
Bakti Seorang Anak
Dari sosok anak bungsu yang sederhana ini, masyarakat belajar arti keberanian. Bahwa melawan ketidakadilan adalah bentuk tertinggi bakti seorang anak kepada orang tuanya.
Sri Mulasih berdiri bukan hanya untuk keluarganya, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa hak rakyat kecil tidak boleh diinjak-injak. “Saya percaya, kebenaran pada akhirnya akan menang,” tegasnya.[Tiem &Red]