Surabaya|Jejakkasusindonesianews.comDi sebuah gang kecil bernama Kadung Tarukan Baru IVB, Kelurahan Mojo, Surabaya, kehidupan tidak hanya berjalan—ia tumbuh, berakar, dan berbuah dari semangat kebersamaan. Warga RT 9 RW 6 membuktikan bahwa tinggal di kota besar tak sekadar soal tempat, melainkan soal cara hidup bersama yang saling merawat lingkungan dan relasi sosial.
Minggu pagi (27/7), lorong sempit yang biasanya lengang berubah ramai. Suara sapu, obrolan akrab, dan percikan air membaur di udara. Warga bergotong royong: menyapu jalan, memangkas tanaman, menata pot, dan menguras saluran air.
“Di sini, kerja bakti bukan kewajiban. Ini tradisi yang kami jaga,” ujar Ketua RT 9, M. Imron, yang sejak subuh sudah sibuk mengatur peralatan bersama para pemuda karang taruna.
Semangat kolektif ini bukan hal baru. Bertahun-tahun, kerja bakti rutin menjadi sarana menjaga kebersihan sekaligus ruang silaturahmi dan solidaritas. Nilai-nilai kebersamaan tumbuh secara organik, tanpa seremoni.
Kampung yang Menjadi Sekolah Kehidupan
Kegiatan warga RT 9 menarik perhatian Lurah Mojo, Widajati, S.Sos, dan Ketua RW 6, Wido Hari. Namun yang paling mencuri perhatian Bu Lurah adalah aktivitas sederhana namun berdampak besar dari seorang warga—Bu Siswanto.
Dari halaman sempit rumahnya, Bu Siswanto mengolah kulit pisang dari Pasar Karang Menjangan menjadi kompos. Ia menanam bayam, kangkung, cabai, dan bawang merah untuk kebutuhan sendiri.
“Kami tak punya lahan luas, tapi cukup untuk makan sendiri,” ujarnya.
Urban farming ala Bu Siswanto menjadi bukti bahwa ketahanan pangan bisa dimulai dari rumah, dengan prinsip kemandirian dan keberlanjutan.
“Ini bukan sekadar kebersihan atau pertanian. Ini soal peradaban. RT 9 sudah hidup—punya sistem, kesadaran ekologis, dan jiwa gotong royong. Saya akan dorong mereka ikut Surabaya Berseri tahun depan,” ujar Bu Lurah bangga.
Tak Ada Tuan Rumah, Tak Ada Tamu
Tiga jam kerja fisik ditutup dengan makan bersama. Tikar dibentang, dan berbagai hidangan khas rumahan—nasi, ayam dan bandeng goreng, tempe, sayur sop, serta es teh dan es mawut manis—menghangatkan suasana.
Semua duduk setara. Anak-anak bercanda dengan kakek-nenek mereka, pemuda berbagi tawa dengan tetangga baru. Di sini, tidak ada batas. Hanya keluarga yang saling merangkul.
“Makan di pinggir got yang bersih, setelah bareng-bareng kita bersihkan. Rasanya nikmat, lebih dari apa pun,” celetuk Tio, warga setempat.
RT 9 Mojo bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah ruang hidup, tempat nilai gotong royong, solidaritas, dan kesadaran lingkungan tumbuh alami—tanpa instruksi, tanpa pamrih.
“Kami tidak punya banyak. Tapi kami punya satu sama lain,” kata Pak Imron, menatap lorong yang siang itu tampak lebih terang, bersih, dan tentu saja—lebih hidup.
Penulis : Galih
Editor :Kang Adi